Rumah Tangga yang Mandiri
Kehidupan Rumah Tangga Bahagia
Akan Menjadi Pasangan Ideal
Pernikahan anak pertama dengan anak terakhir dalam Mitos Jawa akan menjadi pasangan yang ideal. Hal ini dikarenakan, kebanyakan anak bungsu yang memiliki karakter manja, merasa nyaman menjalin hubungan dengan anak sulung yang memiliki karakter mandiri.
Sementara anak sulung dapat memahami kemanjaan anak bungsu karena sudah belajar dari adik-adiknya sendiri. Sehingga kedua karakter mereka akan saling melengkapi sebagai pasangan ideal dan kehidupan pernikahan mereka berjalan harmonis.
Tantangan yang Dihadapi Pernikahan Anak Bungsu dengan Anak Sulung
Tantangan yang dihadapi serikat ini adalah bahwa kedua individu tersebut berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda dan memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga sulit untuk membentuk ikatan yang kuat.
Selain itu, anak pertama mungkin memiliki sikap yang lebih bertanggung jawab dan dewasa, sedangkan anak terakhir mungkin lebih riang dan kurang menghargai keseriusan persatuan.
Hal ini dapat menyebabkan kesalahpahaman dan kurangnya saling pengertian. Selain itu, anak pertama mungkin dibesarkan dalam lingkungan yang lebih tradisional, sedangkan anak terakhir mengalami pengasuhan yang lebih modern, yang mungkin sulit untuk didamaikan.
Terakhir, perbedaan usia antara kedua pasangan juga dapat menjadi tantangan, karena hal ini dapat menimbulkan kesulitan dalam komunikasi dan pemahaman.
Anak Pertama Menikah dengan Anak Terakhir
Foto: Pernikahan Adat Jawa (Orami Photo Stock)
Dilansir dari Journal Law and Family Studies Al Syakkhiyyah, berikut ini cara mencapai keluarga impian anak pertama menikah dengan anak terakhir menurut adat Jawa:
Laksana Mimi Lan Mintuna
Mimi lan Mintuna adalah binatang yang tidak pernah berpisah satu sama lain.
Sebab, sifatnya melekat dan tidak pernah berpisah.
Binatang tersebut dijadikan lambang bagi suami istri untuk selalu bersatu padu secara lahir dan batin.
Tujuannya, agar keduanya dapat hidup tenang, tenteram, dan selamat.
Pasangan suami istri yang menjalani kehidupan berumah tangga harus menerapkan asas setel kendho.
Asas tersebut adalah saling mengendalikan keinginan diri dan pasangan agar hubungan harmonis.
Keduanya merupakan tokoh fenomenal dalam cerita pewayangan yang hidupnya selalu rukun, tidak bertengkar ataupun berpisah.
Baca Juga: Cara Menghitung Hari Baik Pernikahan Menurut Primbon Jawa
Masyarakat Jawa secara umum menyebut setiap pasangan suami istri pasca pernikahan dengan istilah garwa (sigaraning nyawa).
Istilah ini dalam bahasa Indonesia diartikan pecahan atau setengahnya nyawa.
Adapun nyawa adalah sumber kehidupan.
Dalam berumah tangga, suami istri harus bersama-sama merasakan suka duka (ringan sama dijinjing, berat sama dipikul).
Jika suami istri memahami peran mereka sebagai pasangan jiwa, mereka akan sukses menghadapi segala tantangan rumah tangga.
Moms, kehidupan berumah tangga secara umum tidak terlepas dari kecukupan sandang, pangan dan papan.
Kecukupan sandang, pangan, dan papan dianggap sebagai kebutuhan primer.
Secara kalkulatif, tiga kebutuhan primer di atas dapat tercukupi melalui pengelolaan ekonomi rumah tangga secara proporsional dan fungsional (gemi nastiti).
Karakter pemboros yang berbelanja tanpa mempertimbangkan kondisi bertentangan dengan prinsip hidup Jawa yang dikenal sebagai gemi nastiti.
Semakin terkelola dalam mencari dan mengatur keuangan dalam rumah tangga, seseorang akan semakin bahagia.
Perihal ini selaras dengan ajaran Asthagina yang berisi delapan kegunaan yang harus diperhatikan dalam kehidupan berumah tangga di antaranya:
Mikul Dhuwur Mendhem Jero
Anak pertama menikah dengan anak terakhir selanjutnya adalah mikul dhuwur mendhem jero.
Mikul dhuwur mendhem jero adalah sikap seorang anak untuk menjunjung tinggi kehormatan kedua orang tua.
Caranya adalah dengan menyimpan aib serta kekurangan orang tua sebaik mungkin, sekaligus mengharumkan jasa orang tua.
Selain diwajibkan bagi setiap anak, sikap ini secara khusus juga harus dilakukan suami-istri dalam keluarga.
Artinya, seorang suami harus menutup rapat-rapat aib, kekurangan dan kelemahan yang dimiliki oleh istri.
Caranya dengan menampilkan kelebihan, keunggulan, serta kehebatan yang dimilikinya.
Begitu pula sebaliknya sikap istri terhadap suami harus mikul dhuwur mendhem jero.
Dengan begitu, perjalanan rumah tangga membuat keluarga harmonis secara lahir maupun batin.
Pasang sumeh njroning ati berarti suami dan istri dalam menjalankan kehidupan rumah tangga harus...
Semua pasangan pasti mendambakan kebahagiaan dan keseriusan dalam suatu hubungan.
Mitos ketiga tentang pernikahan anak pertama dengan anak terakhir yakni akan menjadi rumah tangga yang mandiri. Terciptanya rumah tangga yang mandiri dikarenakan si sulung yang bertanggung jawab dan mandiri. Sehingga bisa menjadi pemimpin dan suami yang baik.
Meskipun si bungsu memiliki sifat yang manja dan egois. Dengan kata lain sifat mereka akan saling melengkapi dan melengkapi.
Asal Usul Mitos anak pertama menikah dengan anak terakhir
Asal muasal mitos bahwa anak pertama menikah dengan anak terakhir sudah ada selama berabad-abad. Diyakini bahwa anak bungsu dalam sebuah keluarga, yang biasanya dibesarkan dengan karakter manja, akan merasa terhibur oleh anak tertua di keluarga lain karena merekalah yang paling dewasa dan bertanggung jawab di antara keduanya.
Ini dianggap menciptakan ikatan yang kuat dan membuat pasangan lebih mungkin untuk tetap bersama. Keyakinan bahwa kombinasi anak tertua dan bungsu dalam keluarga yang berbeda akan memberikan keseimbangan dan stabilitas dalam pernikahan, yang akan membuatnya lebih langgeng.
Dampak Mitos Anak Pertama Menikah dengan Anak Terakhir
Mitos ini memainkan peran besar dalam membentuk nilai, cita-cita, dan kepercayaan suatu masyarakat. Ini dapat digunakan untuk menjelaskan peristiwa yang tidak dapat dijelaskan, atau untuk memberikan bimbingan moral.
Di banyak budaya, mitos anak pertama menikah dengan anak terakhir dari keluarga yang berbeda adalah hal yang umum. Ini berfungsi untuk memperkuat gagasan bahwa menikahi anggota keluarga termuda adalah penyatuan yang ideal.
Mitos ini didasarkan pada gagasan bahwa anak bungsu lebih manja sehingga lebih cenderung patuh dan menghargai dalam pernikahan. Ini juga menunjukkan bahwa penyatuan dua keluarga yang berbeda dapat bermanfaat dan harmonis, karena anak tertua dan bungsu membawa kekuatan yang berbeda dalam hubungan tersebut.
Pada akhirnya, mitos ini memperkuat gagasan bahwa pernikahan seharusnya tidak hanya didasarkan pada ketertarikan fisik, tetapi pada kualitas yang lebih bermakna seperti kesetiaan dan penghargaan.